“Gosip
memang menyebalkan!”
Umpatan
itu kadang terlontar kalau sudah melihat tetangga bergunjing di depan rumah. Tukang
sayur kerap menjadi tempat pertama kali para ibu memulai lapak obrolannya dengan
sedikit bumbu agar semakin sedap. Tapi ya memang fenomena seperti ini bukan
rahasia umum lagi jika tinggal di daerah yang padat.
Lagi-lagi
ukuran perut yang besar menjadi pembicaraan. Mereka mengira kalau usia
kandungan saya sudah 9 bulan. Padahal jelas hasil pemeriksaan dari bidan
menunjukan usia 28 minggu. Memang kenyataannya perut saya saat itu besar
sekali. Apalagi dengan postur tubuh yang minimalis jelas membuat perut terlihat
besar dan bulat seperti penabuh drumb
band.
Saat
itu masih sering menjeluak tanpa sebab, terutama jika mencium keringat. Tapi
tidak separah trisemester pertama. Hanya saja sekarang perut terasa kencang,
bahkan kulitnya terlihat mengkilat seperti balon mau pecah.
Keras
di semua sisi dan mulai rasakan sakit jika harus bangkit dari duduk atau
sebaliknya. Pergerakan dedek bayi juga sering membuat ngilu. Setiap dia
bergerak, ada dorongan yang kuat menuju ulu hati dan bagian bawah perut. Ini
menyebabkan kebiasaan baru, yaitu bolak balik ke kamar mandi.
Hingga
suatu hari, saya tidak bisa bangun dari tidur. Mulai dari bagian perut hingga
kaki terasa kram. Ulu hati juga sakit sekali, seperti ada benda yang menekan
dengan kuat. Saat itu sedang tidak ada orang di rumah. Akhirnya coba
menenangkan diri dan berdzikir. Butuh waktu sekitar satu jam, lalu keadaan
berangsur baik. Otot menjadi rileks, dan saya pun dapat bangun.
Ok,
kejadian tadi enggak boleh jadi alasan untuk mengeluh dan diam. Itu yang coba
saya tanamkan dalam pikiran. Mencari kesibukan dengan melakukan pekerjaan rumah
seperti biasa, walau sesekali kembali terasa sesak saat janin bergerak.
Kondisi
ini berlangsung hingga beberapa hari. Sempat bercerita pada salah seorang
teman, dia menyarankan untuk periksa ke dokter kandungan. Sebenarnya bukan
tidak ingin, tapi kondisi keuangan yang saat itu masih pas-pasan sudah
dialokasikan untuk membeli peralatan bayi dan bekal biaya melahirkan di bidan.
Saya
yakin kalau bidan yang saya datangi itu cukup bagus untuk melahirkan. Nyatanya
banyak masyarakat sekitar bahkan orang jauh yang datang. Jadi, ya niatnya coba
bersabar saja hingga waktu melahirkan tiba.
Tapi
sayang, kondisi semakin tidak membaik. Otot perut semakin tegang hingga sering
kesulitan untuk berjalan. Akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.
Masih
ingat saat itu pergi sendiri dengan menggunakan becak. Mengambil antrean dan
menunggu di selasar rumah sakit. Melihat hiruk pikuk orang membuat perhatian
saya teralihkan dari rasa sakit.
Hingga
tiba masuk ruangan, ternyata sudah banyak banyak orang berpakaian putih di
sekitar ruangan. Sementara seorang dokter laki-laki sedikit tua menggunakan
kacamata duduk di kursi mempersilakan masuk. Hooo, ternyata di rumah sakit itu
selain ada dokter inti, ada juga para koas (dokter muda).
Setelah
pencatatan data, saya pun dipersilakan berbaring. Beberapa saat dokter memeriksa,
tak lama kemudian ditempelkan alat USG. Sempat terlihat jelas wajah dokter yang
tiba-tiba sedikit merengut.
“Ibu
tahu kalau ini ada dua janin?” tanyanya dengan wajah serius.
Saya
kaget bukan main dan hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ini
tuh kembar, Bu. Masa bidan enggak bisa deteksi detak jantungnya, sih?” sahutnya
lagi sambil berdecak kesal.
Saat
itu saya hanya bisa diam. Bingung apa yang harus diucapkan.
“Lihat,
Bu. Ini bayi ibu posisinya sudah vertikal dan saling membelakangi. Mereka
sehat, tapi sayang kita belum bisa lihat bagaimana kondisi tubuh mereka. Masih
tertutupi bayi yang di depan ini. Jadi pekan depan Ibu kesini lagi, ya,”
ujarnya menjelaskan sambil terus menunjukan bagian-bagian di layar monitor.
Tiba-tiba
saya merinding, keringat dingin mulai keluar. Rasa sakit yang sejak tadi pagi
dirasakan menghilang. Ingin segera sampai rumah dan menangis.
Benar
saja, saat sampai rumah saya sudah tidak dapat menahan semuanya. Tangisan pun
pecah dan pikiran mulai kacau. Semua ucapan dokter terekam dengan jelas kalau
anak kembar ini kemungkinan cacat (siam) dan hanya dapat dilahirkan melalui
operasi.
Saat
semua keluarga tahu, mereka coba menenangkan dan memberi suport. Tapi rasanya
tidak sabar menunggu satu pekan untuk kembali periksa. Ingin mengetahui
bagaimana perkembangan dua janin ini yang semakin hari membuat perut semakin
sesak.
Waktu
periksa pun tiba, lagi-lagi dokter masih memberi kesimpulan yang sama. Harus
operasi dan itu tidak bisa ditawar lagi. Saya pun diberi surat rujukan untuk
melahirkan di salah satu rumah sakit besar di Cimahi itu.
Hati
dan pikiran saya semakin kacau. Bingung dengan biaya persalinan yang pastinya
sangat besar. Ketakutan terhadap bentuk fisik anak-anak ini pun mulai muncul,
dan semua membuat diri ini semakin tertekan.
Beruntung
saat itu akan memasuki bulan puasa. Aura Ramadhan yang penuh ketenangan membawa
semangat untuk melupakan semua kegelisahan. Saya pun mencoba berdamai dengan
keadaan dan lebih banyak berdoa, meminta keajaiban dari Allah.
Masih
dalam lingkungan yang terikat tradisi, selalu menyambut bulan suci ini dengan
masak besar untuk persiapan sahur di hari pertama (munggah). Saya pun ikut
terlibat, tapi lebih banyak melakukan bersih-bersih rumah daripada diam di
dapur. Aroma bawang putih masih belum bersahabat.
Hingga
saatnya semua orang pergi tarawih, saya tidak bisa ikut karena masih khawatir
dengan perut yang bisa kram kapan saja. Selama menunggu yang pulang dari
mesjid, tidak seperti biasanya intensitas buang air kecil menjadi lebih sering.
Mual dan menjeluak pun hampir setiap jam sekali, membuat badan lemas. Tepat
pukul 23.00 saya ketakutan karena ternyata cairan sudah keluar tanpa berhenti.
Akhirnya
diputuskan untuk ke rumah sakit, tapi bukan yang sesuai rujukan. Kami menuju
rumah sakit lain yang memang sedikit lebih jauh. Tapi harapannya semoga dapat
memberi pertolongan yang lebih cepat dan baik lagi.
Benar
saja, tim dokter di rumah sakit ini sangat sigap menangani. Saya langsung
mendapat pemeriksaan dan perawatan. Ternyata air ketuban saya sudah pecah,
sementara belum ada pembukaan sama sekali.
Menjelang
pukul dua dini hari, perut saya mulai terasa sakit. Semakin lama sakitnya
semakin hebat. Suster memeriksa dan lalu berkata, “Sudah mulai pembukaan, sabar
ya...”
“Oooh,
sudah tiba waktunya,” gumam saya dalam hati.
Pikiran
saya jadi kacau, hati saya semakin gelisah. Sakit semakin hebat. Air mata sudah
tak tertahan lagi, tangis pun semakin menjadi. Takut...
Sementara
saat itu hanya ada emak yang menemani. Melihatnya yang panik membuat saya tidak
tega, dan akhirnya meminta emak yang sudah sepuh untuk keluar. Saya pun sendiri
di ruangan dengan ditemani 3 orang suster.
Menjelang
pukul empat dini hari suster mengingatkan supaya saya lebih tenang, karena
sejak masuk ruangan tekanan darah saya masih tinggi. Kondisi seperti ini akan
beresiko dalam proses melahirkan. Bahkan jika tidak bisa membaik maka operasi
akan menjadi jalan keluar selanjutnya.
Saya
mulai sadari kalau ketakutanlah yang membuat semua terjadi. Lalu mulai kembali
menenangkan diri. Hanya dzikir yang mampu saya lakukan untuk meredam kecemasan.
Hingga akhirnya pukul enam pagi dokter datang, lalu memastikan kalau kedua
janin saya dalam keadaan baik-baik saja.
Pembukaan
telah sempurna, maka proses persalinan pun dimulai. Ada rasa hangat yang
mengalir saat dokter membuka jalan keluar jabang bayi. Saya pun mendengarkan
petunjuk dokter dengan saksama. Saya ingin bayi saya lahir semua dengan selamat.
Tepat
pukul tujuh bayi pertama lahir dengan selamat. Tangisnya yang kencang membuat
saya tertegun. Bayi mungil itu segera dibawa oleh suster, sementara saya... lemas
tak berdaya.
Mulai
terasa perih dan kantuk datang dengan tiba-tiba. Dokter memberi isyarat untuk
istirahat dulu sebentar. Tapi rupanya mata saya terlalu berat dan terpejam.
Dokter
membangunkan dan bilang bukan untuk tidur, tapi kumpulkan tenaga. Masih ada satu
lagi yang harus dikeluarkan. Saya lemas, tak ada tenaga sama sekali waktu
dokter minta saya untuk memulai persalinan kembali.
“Kalau
ibu enggak mau ngeden, berarti kita masuk ruang operasi ya? Sekarang pilihannya
semangat keluarkan tenaga atau bayi ibu kelamaan di rahim dengan kondisi
begini? Bisa buruk loh akibatnya!”
Ucapan
dokter yang tegas itu membuat saya sadar dan akhirnya mau ikuti petunjuknya.
Saya pun bersiap kumpulkan tenaga dan memulai lagi proses persalinan.
Alhamdulillah, bayi kedua pun selamat walau dibantu dengan alat vacum.
Bayi
ini juga menangis keras, badannya terlihat lebih merah. Semakin lama menjauh
dan akhirnya hilang dari pandangan. Saya pun tak tahu apa yang selanjutnya
terjadi.
Entah
berapa jam saya tertidur, tapi ketika bangun ternyata sudah ada di ruangan.
Semua keluarga hadir dengan wajah gembira. Mereka katakan kalau kedua bayi
telah lahir dengan sehat, lengkap fisik dan cantik.
Iya...keduanya
adalah bayi perempuan. Bayi dengan berat 2700 gram dan 2500 gram serta tinggi
50 cm dan 55cm itu telah hadir menjadi anggota keluarga kami yang baru.
Nane...
itulah saat pertama Ummi bertemu dengan kalian. Dua bayi merah mungil yang
selama 32 pekan ini selalu setia menemani Ummi. Semoga kalian akan tumbuh
dengan sehat dan menjadi anak-anak sholihah.
Alhamdulillah.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberi banyak mukjizat dengan mengirim
kekuatan dan juga kemudahan selama proses persalinan. Segala kuasa memang hanya
milikMu Yaa Rabb.
menarik kisahnya. Mungkin ini bisa jadi inspirasi untuk berbagi kisah tentang kelahiran anak kita ya..
BalasHapusIya Kak, semoga makna dari cerita ini bisa diambil hikmah juga untuk yang membacanya. Terima kasih sudah singgah.
HapusMakasih mi
BalasHapusSehat selalu
We love you ♡
-Nane
Makasih juga sayang. Love u too
Hapus